Pengacara senior Adnan Buyung Nasional meninggal dunia dalam keadaan sakit pada pukul 10:17 WIB, Rabu, 23 September.
Pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934, ini wafat di usianya yang ke-81 tahun.
Adnan sebelumnya dirawat sejak Minggu, 20 September, kemarin. Ia diduga mengalami sakit gangguan jantung.
Pada Senin, 21 September, kondisi Adnan sempat membaik, ia tak lagi memakai alat pernafasan. Tapi kemudian kondisinya kembali memburuk sebelum meninggal dunia hari ini.
Perjalanan hidup
Nama aslinya adalah Adnan Bahrum Nasution. Ia mengganti nama tengahnya menjadi Buyung karena sering dipanggil demikian oleh teman-teman dan kerabatnya.
Masa kecil Adnan dihabiskan di Yogyakarta. Ketika Adnan berusia 12 tahun, ia hidup sendiri dengan adik semata wayangnya, Samsi Nasution, berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta.
Di tempat itu pula, ibu Buyung yang bernama Ramlah Dougur berjualan es cendol. Sementara ayahnya, Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda pada tahun 1947-1948.
Berkat keaktifan sang ayah dalam politik, sebagai pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat, Adnan juga ikut aktif berorganisasi. Ia pernah ikut berunjuk rasa untuk memprotes pendirian sekolah tentara sekutu Belanda atau NICA di Yogyakarta.
Ketika bersekolah di SMA Negeri 1 Jakarta, Buyung menjabat sebagai Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yang kemudian dibubarkan karena dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selepas SMA, Adnan terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, satu tahun kemudian, Adnan pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada.
Tidak lama kemudian, ia berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Di tiga universitas tersebut, Adnan aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa.
Adnan kemudian menjadi jaksa penuntut umum di Kejaksaan Istimewa Jakarta pada 1957 hingga 1961.
Meski menjadi JPU, Adnan tetap aktif di kegiatan politik. Ia tercatat sebagai pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera, amanat penderitaan rakyat.
Ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau Gestapu, Adnan tercatat sebagai anggota Komando Aksi Pengganyangan Gestapu.
Bahkan, Adnan sempat mendapatkan skorsing selama satu setengah tahun akibat ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan dia dituduh sebagai anti revolusi.
Kemudian pada 1962-1968, dia adalah Kepala Humas Kejaksaan Agung. Ia kemudian menjadi anggota parlemen pada 1966-1968.
Pada 1969 ia kemudian mulai menggagas firmanya sendiri, Adnan Buyung Nasution. Pada tahun 1970, Adnan mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada 1999, Adnan menduduki posisi sebagai wakil ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada 2007-2009, ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.